Senin, 20 Juni 2011

150 Tahun HKBP (Deskripsi etnografi Perayaan Jubileum 150 Tahun HKBP di HKBP SUKA DAME Pematangsiantar)

Sejarah HKBP SUKADAME

PENDAHULUAN
            Sejak tanggal 07 Oktober 1861 HKBP sudah berdiri dan HKBP selalu merayakan tanggal 07 Oktober menjadi hari kelahiran. Merayakan hari kelahiran ini disebutlah pesta Jubileum, Jubileum 75 Tahun HKBP dilaksankan tahun 1936 dipusatkan disipirok, Jubileum 100 Tahum HKBP dilaksanakan tahun 1961 dipusatkan di Tarutung, dan Jubileum 125 Tahun HKBP dilaksanakan tahun 1986 di tiga tempat yaitu di Tarutung, Pematangsiantar, dan Jakarta. Setiap Pesta Jubileum sudah merupakan tradisi di HKBP selalu membuat sejarah Gereja HKBP secara singkat. Ditinggkat jemaat, ditingkat distrik maupun secara Nasional.
Tahun ini HKBP melaksanakan Pesta Jubileum 150 Tahun HKBP dalam rangka perayaan Jubileum 150 Tahun HKBP maka HKBP SUKADAME menyusun sejarah singkat HKBP SUKADAME.
Tuhan Allah selalu menyertai Gereja HKBP SUKADAME, Hal itu nampak dari kehidupan setiap hari dimana pembangunan spritual semakin nyata dengan kata lain campur tangan Tuhan Allah cukup banyak. Oleh karena itu jemaat HKBP SUKADAME patut bersuka cita seperti Bangsa Israel pada kejayaan Raja Daud penuh dengan tertawa, mereka juga bersaksi Tuhan telah melakukan perkara besar maka mereka bersuka-cita (Mazmur 126 : 3). Demikian lah Jemaat HKBP SUKADAME oleh karena Sukacitanya bersaksi membuat sejarah. 150 Tahun HKBP di HKBP SUKADAME.

Pra Sejarah HKBP
            HKBP merupakan salah satu gereja protestan yang berdiri pada tanggal 07 Oktober 1861, yang didirikan oleh empat orang pendeta :
  1. Pdt. Heine
  2. Pdt. Klamer
  3. Pdt. Betz
  4. Pdt. V (P) an Asselt
Keempat Pendeta tersebut melakukan rapat untuk menetapkan pembagian kerja untuk memberitakan berita injil ditanah Batak. Tetapi dengan luasnya daerah Tanah Batak keempat pendeta tersebut mengalami kesulitan untuk mengabarkan injil keseluruh daerah tanah Batak. Maka mendengar hal tersebut missionaris protestan Jerman melakukan Zending Barmen Jerman, yang kemudian mengambil kesepakatan untuk mengutus DR.I.L Nomennsen.
Kehadiran DR.I.L Nomennsen ini menghasilkan dampak yang positif bagi penyebaran berita injil, sehingga masyarakat Batak semakin bertambah-tambah menjadi penganut agama kristen. Namun dengan adanya pergolakan akibat perang dunia ke-II maka pendeta-pendeta yang diutus Zending Barmen Jerman di HKBP dipanggil kembali ke negaranya. Situasi ini membuat HKBP goyah, akibatnya para pendeta Batak melakukan Sinode Agung Istimewah tanggal 10-11 juli 1940 maka terpilihlah Pdt Karsianus Sirait menjadi Vorsitter dan membuat HKBP berdikari (Manjujung Baringinna).
Melihat daerah tanah batak yang begitu luas dan HKBP telah tersebar diberbagai daerah Batak, maka beliau mengajukan kebijakan pembuatan distrik di HKBP. HKBP Suka Dame merupakan distrik V Sumatera Timur. yang merupakan gereja yang saat ini telah menjadi sebuah ressort. Yaitu ressort HKBP Suka Dame. Gereja HKBP ini mengadakan Perayaan Jubileum 150 Tahun HKBP pada tanggal minggu 19 juni 2011. Dimana acara jubileum ini dirayakan sedemikian rupa, dengan nama HKBP yang merupakan gereja suku Batak, Maka perayaannya tidak terlepas dari Adat istiadat Batak. Dimana Adat merupakan sebuah kebudayaan yang mana Kebudayaan tersebut merupakan hasil karya dan karsa yang dihasilkan untuk mempertahankan diri yang dilakukan oleh manusia.
Perayaan jubileum ini dirangkai sedemikian rupa melalui kebaktian, Kata-kata sambutan panitia, acara tortor Batak Toba, dan juga pembacaan Sejarah berdirinya HKBP. Acara ini dihadiri oleh Para pendeta-pendeta, sintua yang ada, dan juga para jemaat HKBP Sukadame. Dimana yang hadir yaitu Pdt.H. Panjaitan STh yang merupakan pendeta ressort di gereja tersebut.
Acara manortor ini sangat menarik dimata saya, dimana dalam sebuah religi acara agama masih dapat digabungkan dengan acara-acara adat-istiadat yang ada dalam Batak Toba. Dimana dalam Tortor Batak Ada yang manorto ada juga yang manomu-nomui.
ACara tersebur berlangsung meriah dan strategis sesuai dengan apa yang dirancang oleh Panita Perayaan HKBP Jubileum 150 Tahun HKBP.
Agama dan Budaya dapat bersatu jika dipakai dengan pemikiran yang stabil dan efisien.

Kamis, 16 Juni 2011

Siantar dengan Kebijakan Barunya

Kota siantar yang dikelilingi Kabupaten Simalungun tersebut, yang memiliki pontensi budaya yang sangat luar biasa dimana adanya terdapat beragam etnis yang ada didunia ini. Siantar yang sangat terobsesi dengan julukan kota pendidikan tersebut berusaha dengan kebijakan-kebijakan yang di usulkan tiap pimpinan yang memerintah pemerintaha kota Siantar. Mulai dari Sekolah Gratis-Perbaikan Gizi yang saat ini kita lihat ada disetiap Sekolah Dasar yang ada.


Dilihat sekilas Kebijakan ini sangat lah menarik perhatian, Mengapa saat pemerintahan 2011 ini, muncul kebijakan tersebut, mengapa tidak dari waktu yang lama kemaren....
Apa sebenarnya tujuan Pemerintah??
Apakah Anak-anak siantar Memang kurang Gizi??

Mari kita PErtanyakan Hal ini........................

Antropologi Visual “Playing Between The Elephant.”

Film yang berjudul  “Playing Between The Elephant.”  ini dibuat selama setahun setengah di sebuah desa di Pidie, Aceh, yang terkena dampak tsunami tahun 2004. Selain tsunami, penduduk desa ini juga tergolong dalam masyarakat yang sederhana, bukan hanya dalam struktur sosial, namun juga dalam ekonomi dan lokasi desanya. Dari film itu nampak desa mereka dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung yang sangat riskan kalau dilalui oleh mobil dengan muatan berat. Ketertinggalan juga nampak dari model rumah penduduk yang ada di sana. Rumah yang sangat sederhana, sebuah petakan yang tinggi di sepinggang yang kemungkinan tanpa kamar. Sayangnya dalam film tidak menshot kondisi di dalam rumah.
Film ini bercerita mengenai proses pembangunan rumah yang dilakukan oleh UN-Habitat sejak perencanaan awal hingga kahir dan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Sang sutradara dengan cerdas mengambil setiap kejadian yang ada dalam masyarakat di sana selama setahun. Hasil itu kemudian diramu menjadi sebuah film yang SUNGGUH!!! sangat hidup. Bahkan mirip dengan sebuah film yang dibuat dengan sebuah narasi yang direncanakan. Padahal jelas, ini adalah film dokumenter yang semuanya tidak diseting dan tidak diatur oleh seorang sutradara sebelum film dibuat. Ia hanya menshoting berbagai kejadian dalam masyarakat lalu kemudian dirangkai menjadi sebuah film. Bagai saya si mahasiswa telah melakukan sebuah pekerjaan luar biasa. Ia masuk ke dalam sebuah masyarakat tanpa sebuah perencanaan film yang bagaimana akan dibuat nantinya. Ia mengaku hanya ada bayangan awal bahwa akan ada sebuah rekonstruksi rumah dalam masyarakat tersebut. Namun sedikitpun ia tidak membayangkan kalau hasilnya adalah seperti yang dia buat dalam sebuah film tersebut.
Bagi saya, meskipun ini adalah sebuah hasil antropologi visual, namun kalau saya pelajari dari “balik layarnya” ini adalah sebuah pelajaran mengenai antropologi. Ada beberapa catatan yang saya ambil dari cerita si mahasiswa dalam proses pembuatan dan pemutaran film ini. Pertama, ia adalah “orang asing” yang masuk ke dalam sebuah masyarakat. Saya yakin pasti ada cara-caranya masuk ke dalam masyarakat tersebut. Bagaimana ia menyampaikan maksudnya, bagaimana ia menjelaskan kepada masyarakat bahwa ia akan membuat sebuah film. Bagaimana ia dengan rajin setaip hari datang ke sana, ke dalam kampung itu dan kemudian mendapatan engle yang luar biasa menarik sehingga dapat dirangkai menjadi sebuah film. Bagaimana ia bisa mendapatkan masyarakat yang -dalam kamera- nampak tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Masyarakat dalam berbagai kesempatan tetap saja berjalan sebagaimana adanya, nampak seperti tidak dibuat-buat -dan memang saya yakin begitu adanya. Hanya beberapa sisi dari Pak Keuchik saja yang nampaknya diseting oleh sutradara. Namun kebanyakan dari aksi masyarakat berjalan sangat alamiah dan seperi umumnya yang ada dalam masyarakat.
Kedua, bagaimana dia bisa mendapatkan titik-titik yang menarik dalam masyarakat yang sedang berjalan, lalu ia menjadikan titik itu sebagai rangkaian cerita yang mengalir dan bersambung. Padahal apa yang ia lakukan adalah sebuah proses yang sangat lama dan terus berubah dalam amsyarakat. Namun nampak jelas kemudian bagaimana ia mampu menghubungkan titik yang ia peroleh tersebut menjadi sebuah rangakian cerita yang sangat menggugah. Saya lihat tidak ada masyarakat yang nampaknya keberatan dengan apa yang dilakukan sang sutradara terhadap mereka. Mereka tetap saja melakukan segala seuatu sebagaimana adanya, kebiasaan mereka sendiri di kampungnya.
Ketiga, bagaimana ia meutuskan untuk mengamil sebuah alur cerita yang kemudian menjadi sebuah film. Dari informasi si mahasiswa, ia memiliki 200 jam hasil shotuingan di lapangan. Dari 200 jam ini kemudian ia hanya mengambil 2 jam saja untuk sebuah film. Bagaimana caranya memilih? Bagaimana ia menentukan sesuatu yang perlu dan sesuatu yang tidak perlu dari datanya padahal ia sudah mendapatkan data tersebut? Bagaimana ia dengan “teganya” membuang data yang sudah diperoleh dengan suah-payah hanya untuk mempertahankan 2 jam film yang ia perlukan. Ini butuh kejelian dan kemampuan dalam memahami secara mendapam apa yang ada di lapangan dan apa yang kita butuhkan untuk penelitian.
Saya yakin apa yang dilakukan orang ini adalah sebuah usaha besar yang melelahkan dan sangat sulit untuk dibuat pada awalnya. Namun setelah ia menjadi film dan ditonton, sungguh ini adalah sebuah karya yang ajaib dan menentukan sebuah cerita yang sangat khas Aceh pada masa awal tsunami. Saya tahu ini sebab saya juga pernah menjadi petugas lapangan di Teunom. Apa yang ada dalam film ini adalah apa yang saya lihat di teunom dulu. Banyak orang yang marah-marah, yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan. Banyak orang yang tidak mengerti dengan program yang mereka ikut atau sok tidak mengerti. Banyak orang yang melakukan hal-hal yang pada dasarnya tidak mungkin dan tidak perlu.
Saya sangat yakin sebagai sebuah karya antropologi, apa yang dilakukan oleh sutradara film ini juga sebuah pelajaran pada seorang antropolog atau seorang yang sedang melakukan penelitan sosial. Langkah yang ia jalankan oleh orang tersebut juga langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sosial yang lain. Apa yang kemudian dikaryakan sebagai hasil dari kerja lapangan yang panjang dalam masyarakat tersebut juga sebagai sebuah hasil yang seharusnya diperoleh oleh seorang yang sedang melakukan penelitian lapangan di desa.
Saya belajar bagaimana sebuah karya antropologi yang sifatnya etnografi memang terkadang jauh dari apa yang sebelumnya direncanakan oleh seorang peneliti. Apa yung diperoleh di lapangan sungguh sangat tidak terduga dan tidak dapat dipredisksi. Makanya diperlukan sebuah pencatatan yang mendatail dari apa yang ada di lapangan dan sedikit komentar yang sifatnya general. Ini akan sangat membantu seorang peneliti dalam membuat sebuah karya ilmiah setelah ia kembali ke kantornya di mana ia memulai menulis

Rabu, 15 Juni 2011

Demi Sebuah Identitas

Perjalanan yang tak terlupakan, melintas dari medan menuju Kampung Bali yang berada dilangkat, dengan sudako merah yang dikendarai , melewati perkebunan sawit dan karet warga, yang serunya lagi melintasi sungai Bahorok dengan Rakit yang di design sedemikian rupa, yang dapat digunakan penduduk untuk beraktifitas demi sebuah kehidupan yang berharga.


Perjalanan yang menghabiskan waktu hampir 4 jam tersebut, tidak menghasilkan sebuah kekecewaan, Kampung Bali yang dijumpai memiliki potensi Alam SOsial yang tidak ada bandingnya, selain dibandingkan Dengan Bali Aslinya.

Para masyarakat kampung bali yang melakukan aktivitas sebagi Tukang Deres Karet Dengan penghasilan kotor Rp.100.000,-per hektar yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, Hal tersebut tidak membuat mereka putus asa, mereka membuat lapangan kerja sendiri dengan berternak dan juga berkebun didaerah lahan mereka masing-masing.

Agar kebudayaan tidak hilang, mereka yang merupakan keturunan dari masyarakat Bali, tidak melupakan kebiasaan mereka yang menari dengan lirikan mata yang sangat tajam, hal tersebut ciri khas Bali yang ada, Juga Sanggah yang berdiri di depan rumah mereka masing-masing yang merupakan tempat bersembayang tiap keluarga yang ada.

Masyarakat Kampung Bali yang mayoritas hindu tersebut mendirikan sebuah Pura yang sangat menarik yang di Depannya ber Patung kan dua Ekor Naga.

Indentitas mereka tak akan hilang karena mereka mendambakan Kampung Bali yang merupakan cabang wilayah Bali yang berada dipulau Jawa tersebut.

Trims