Minggu, 27 Januari 2013

Pola Asuh Anak sebagai proses enkulturasi budaya trhadap anak

PERAN KELUARGA BATIH DALAM PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAAN DAN IDENTITAS ETNIK

Abstract
The majority of ethnic groups in Indonesia ever came into culture dilemma as the
impact of development and sophistication of technology which always motivate the
society to adopt the new ideas which given by the technology. The new
information and idea were adopted by people from modern nations and states, and
then were become as guidelines for behaviour. The change of life pattern, attitude,
behaviour, and personality of individual, is not released from development which
occur in social and people environment where a person lives. Like Java and
Batak’s change cultures which are not static and became into change slowly. Every
man can have obsession with the change, so every man or group can changes usage
in his life too.
Keywords: social dynamic, culture pattern, cultural diversity
Pendahuluan
Kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan, seperti perubahan sistem sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial ini dianggap sebagai gejala yang lazim walaupun manusia tetap berusaha mempertahankan seluruh sistem kemasyarakatannya dari pengaruh perubahan geografis, ekonomi, dan kebudayaan. Perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu disebabkan oleh perubahan bentuk masyarakat itu sendiri, dari bentuk tradisional ke bentuk masyarakat yang lebih modern.Secara tidak langsung perubahan sosial tersebut dapat pula mempengaruhi nilai-nilai, norma-norma, organisasi sosial, pola tingkah laku individu, struktur masyarakat, pelapisan sosial, dan interaksi sosial di dalam masyarakat. Namun demikian, banyak orang dari berbagai kalangan menganggap bahwa perubahan sosial hanya variasi dari pola hidup manusia yang dipengaruhi oleh perubahan geografis, komposisi dan kepadatan penduduk, kebudayaan materil, ideologi, serta berbagai penemuan baru di dalam masyarakat. Seperti apa yang terjadi pada masyarakat kita saat ini, tampak bahwa perubahan demografis yang terjadi telah berperan sebagai alat pemicu timbulnya diskriminasi rasial dan stratifikasi sosial di antara kelompok etnis pendatang dengan kelompok penduduk asli. Akibatnya kelompok mereka selalu dihadapkan pada perubahan sosial dan kebudayaan. Namun karena adanya proses enkulturasi, kelompok pendatang ini dapat mempertahankan pola tingkah laku, aturan normatif, dan adat kebiasaan yang mereka miliki dalam menghadapi kelompok penduduk asli. Perubahan sosial menimbulkan pergeseran dalam semua aspek kehidupan masyarakat maupun kebudayaan atau social dynamics. Perubahan struktur pemerintahan, ekonomi, dan kepercayaan masyarakat mendorong terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Perjalanan waktu dan perkembangan politik selalu memaksakan masyarakat untuk menerima berbagai perubahan yang disodorkan oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Pergeseran nilai dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan produk dari perubahan struktur pemerintahan, ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Tanpa disadari oleh masyarakat, pergeseran sosial dan kebudayaan akan mempengaruhi sistem sosial, interaksi sosial,struktur sosial dan berbagai unsur kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat itu pula dapat menimbulkan dampak negatif sehingga terjadi perubahan
fungsi dari keluarga. Semula keluarga batih mempunyai fungsi tradisional, seperti pengelolaan perekonomian keluarga, pendidikan, dan keagamaan. Namun dalam era globalisasi ini fungsi keluarga digantikan oleh
teknologi elektronik dan komunikasi, baik itu melalui media cetak, layar kaca, dan
sebagainya.Manusia dilahirkan ke dunia ini belum berbudaya, kemudian ia tumbuh, berkembang, dan dibentuk menjadi manusia yang berbudaya melalui proses enkulturasi yang diberikan oleh keluarga batih atau orang tuanya. Salah satu fungsi edukatif keluarga batih adalah menjadi wadah enkulturasi primer di mana setiap anak dididik untuk memahami dan mempedomani kaidah dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kebutuhan manusia akan pola hidup berkelompok muncul dari ketidakberdayaan manusia untuk hidup sendiri, ia membentuk suatu lingkungan sosial atau kelompok sosial yang akhirnya menimbulkan sikap saling ketergantungan di antara individu. Kepribadian dan identitas suatu masyarakat sebagai kelompok sosial dapat terlihat melalui tingkah laku dari anggotaanggotanya. Dalam hal ini tingkah laku tersebut merupakan serangkaian aktivitas dari orang banyak dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan yang diproyeksikan dalam interaksi sosial di antara mereka berdasarkan simbol-simbol tertentu. Sebab, pengalaman hidup bersama dari sekelompok manusia dapat menumbuhkan kesamaan identitas dan pola tingkah laku yang sama pula. Pengalaman tersebut merupakan suatu realita sosial yang berada dalam dimensi waktu dan mengarah
pada keseragaman tindakan dari semua individu di dalam masyarakat, khususnya
dalam kelompok tertentu. Lazimnya tingkah laku individu atau kelompok dibentuk berdasarkan norma dan kebudayaan masyarakat di mana mereka berada, karena kebudayaan berfungsi sebagai aturan tingkah laku yang disampaikan berdasarkan simbol-simbol tertentu. Masyarakat memanfaatkan kebudayaan sebagai rujukan dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, dan pedoman tingkah laku individu. Sebagai pedoman tingkah laku maka kebudayaan berfungsi sebagai alat untuk mengawasi penyimpangan yang dilakukan
oleh anggota suatu kelompok sosial dan mengembalikannya kepada posisi normal. Pembentukan perilaku tersebut dapat dilakukan kepada setiap individu, karena fungsi sistem budaya adalah untuk menata dan
memantapkan tindakan atau tingkah laku individu berdasarkan kebudayaan. Pemantapan tindakan dan tingkah-laku tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan,
kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat. Tampak bahwa arah dari enkulturasi cenderung pada aspek pewarisan dan cara pewarisan budaya melalui praktik pengasuhan atau pelatihan terhadap anak. Pola pengasuhan anak dan enkulturasi merupakan faktor penting dalam pembentukan watak individu, sehingga ia dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan
norma budaya yang ada dalam masyarakat. Fungsi lainnya dari enkulturasi adalah sebagai
penggerak perubahan kebudayaan dan sekaligus juga sebagai alat dalam pewarisan
kebudayaan. Proses enkulturasi yang dilakukan pada masing-masing masyarakat atau keluarga
bertujuan untuk mempertahankan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Praktis kebudayaan tersebut berfungsi sebagai konfigurasi dari pola-pola tingkah laku masyarakat berdasarkan adat-istiadat
diteruskan kepada setiap anggota dari masyarakat yang bersangkutan. Kemudian tingkah laku tersebut dilegitimasi menjadi adat-istiadat dari masyarakat, hal mana menjadi fenomena sehari-hari. Pada hakikatnya basis pembentukan kepribadian manusia berada dalam kehidupan keluarga. Keluarga dianggap sebagai
masyarakat kecil yang memiliki kemampuan budaya, pemerintahan, kebijakan khusus, dan dilengkapi dengan mitos. Lebih jauh lagi, keluarga berfungsi sebagai wadah interaksi yang terpola, merupakan organisasi internal dan interaksi di antara individu dan dibentuk sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Adanya aturan normatif yang menatahubungan antar-individu dalam keluarga dapat memperkuat fungsi dari keluarga tersebut sebagai wadah enkulturasi. Oleh karena itu proses enkulturasi pertama kali diperoleh individu di dalam keluarga yang diberikan oleh ayah-ibu, kakek-nenek, saudara kandung atau kerabat dekat dari masing-masing keluarga. Pembentukan kepribadian yang dilakukan dalam keluarga selalu dihubungkan
dengan unsur filosofis dan pandangan hidup dari masyarakat atau suku bangsa yang bersangkutan. Berdasarkan nilai filosofis ini pula setiap orang dapat bertingkah laku sesuai dengan pola-pola yang telah ditentukan. Keluarga bagi semua suku bangsa dijadikan sebagai basis pembudayaan setiap individu yang menjadi anggotanya. Dasar dari enkulturasi tersebut adalah norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan adat-istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Seperti kaidah-kaidah dalam masyarakat Jawa,
tata krama berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia, mengatur keselarasan dalam masyarakat, mengatur hubungan formal dengan Tuhan, dan kaidah moral (sikap ‘nrima, sabar, waspada-eling dan prasaja). Sehingga pembudayaan (penjawaan) kepada setiap individu Jawa berdasarkan prinsip rukun, hormat yang dihubungkan dengan kekuasaan adikodrati, sehingga terciptalah jumbuhing kawula-gusti untuk mencapai
kehidupan tatatentrem. Secara universal pemaknaan mengenai keluarga tersebut dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang dibentuk oleh kesatuan tempat tinggal, kerjasama ekonomi,reproduksi, dan pendewasaan anak-anak mereka. Hubungan sosial dalam keluarga batih diatur berdasarkan jenis kelamin,
perekonomian, reproduksi, dan pendidikan. Proses pembentukan kepribadian dalam keluarga tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan, karena kebudayaan terdiri dari pola-pola eksplisit maupun implisit tentang perilaku yang diperoleh individu melalui simbol-simbol dan artefak. Kebudayaan dapat mempengaruhi pola
pikir, tindakan, dan perasaan dalam diri setiap individu. Dalam hal ini pikiran tersebut merupakan sebuah lalu lintas dari simbolsimbol bermakna atau sebagai obyek dalam pengalaman individu. Dari berbagai peristiwa
yang dialami, manusia dapat memberikan makna atas peristiwa-peristiwa yang dihayati berdasarkan simbol-simbol bermakna yang dapat dipergunakan sebagai dasar dari tata cara hidup masyarakat. Tata cara hidup suatu masyarakat tidak terlepas dari bentuk atau konstruksi interaksi sosial yang terjadi di antara individu atau kelompok masyarakat melalui penggunaan simbol-simbol,penafsiran, kepastian makna dari suatu
tindakan yang dilakukan oleh individu. Seperti proses pembentukan kepribadian danpengasuhan anak dalam keluarga batih Jawa. Mereka selalu berorientasi pada konsep konsep kejawen. Proses penjawaan bertujuan
agar bentuk tingkah laku individu dapat menggambarkan bentuk kebudayaan dan kepribadian Jawa. Kaidah pokok yang diajarkan dalam keluarga Jawa adalah mengenai sikap rukun (yang menumbuhkan sikap tenteram dan tidak merugikan orang lain), sikap menghormati keselarasan (dapat menghormati orang lain dan bersedia untuk mengabdi kepada masyarakat). Karena ajaran kejawen tidak terlepas dari konsep sangkan
paraning dumadi (awal dan tujuan), jumbuhing kawula gusti atau penyelarasan tingkah laku yang dapat menunjukkan sikap rukun dan urmat. Hal ini dapat memperlihatkan bagamana kehidupan masyarakat dibentuk berdasarkan nilai-nilai kesopanan dan tingkah laku individu sesuai dengan adat-istiadat dari masyarakatnya.Pada hakikatnya pembentukan identitas etnis berawal dari dalam keluarga, karena dalam keluarga proses identifikasi diri dapat berlangsung secara kontinu sejak masa kanakkanak individu. Identitas kesukuan, seperti marga-marga yang ada di Karo dapat menentukan proses pembentukan kepribadian
anak di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Kepemilikan identitas kesukuan tersebut dapat menuntun setiap anak ke dalam kancah enkulturasi, sehingga setiap anak dapat mempelajari bahasa etnisnya dan memakainya sebagai alat komunikasi dalam berbagai interaksi sosial di tengah-tengah keluarga maupun masyarakat mereka.
By: Jonni Purba